Menulis sejarah memang tidak sama dengan membuat dokumen sejarah. Ibarat orang memasak nasi goreng, sejarawan dapat dianalogikan dengan sang juru masak; sedangkan pembuat dokumen sejarah barangkali bisa dianalogikan dengan petani yang telah menghasilkan beras, cabe, mrica, bawang merah, bawang putih, daram dan lain sebagainya. Petani tersebut tidak pernah mempersoalkan apakah beras yang telah ia hasilkan itu akan dimasak dan selanjutnya dibikin nasi goreng atau nasi kuning atau bubur atau yang lainnya. Demikian pula dengan petani cabe. Ia tidak mempersoalkan apakah cabe yang telah ia produksi dan jual ke pasar itu akan dibikin sambal, bumbu rendang atau sekadar sebagai penghias tumpeng dalam acara-acara syukuran. Dengan kata lain mereka hanya bertanggung jawab dalam pengadaan bahan pangan. Lain halnya dengan sang juru masak. Ia bertanggung jawab atas nasi goreng yang akan disajikan kepada para tamu. Bagaimana rasa nasi goreng itu sangat ditentukan oleh resep yang ia pakai. Mengapa ia memakai resep tertentu dan bukan yang lain sangat dipengaruhi oleh keyakinannya: keyakinan bahwa resep yang ia pakai akan membuat resep nasi goreng secara objektif dinilai "pas". Sedangkan keyakinannya sangat dipengaruhi oleh pengalamannya.